Laki-laki
berkacamata minus setengah dan berkumis tipis dengan potongan rambut rapi,
perawakan tegap berwibawa terlihat beberapa kali mengusap dahi dengan sapu
tangan putih. Pandangannya selalu terarah kepada sebuah rumah tua rapi dengan
tatanan menyejukkan. Sesekali punggungnya tersandar pada bahu mobil.
Kegelisahan tampak dari gerak tangannya yang tak henti. Untuk masuk ke dalam
rumah itu tampaknya keraguan lebih besar menguasai. Seorang anak kecil berlari
di halaman. Rambutnya ikal berkibar tertiup angin, hidung mungil dengan bibir
tipis menggemaskan. Wajahnya cerah, mulutnya bersenandung dengan sepeda pink ia
memutari halaman. Laki-laki itu terkesima, pandangannya tak lepas-lepas. Anak
perempuan cantik itu seperti magnet yang enggan melepaskan jerat indahnya.
“
Om.....” seperti tersadar dari lamunan yang panjang. Gadis kecil nan cantik itu
telah ada dihadapannya. Laki-laki itu jongkok, mengamati wajah mungil di
depannya dan ia seperti melihat sesuatu ada dalam dirinya.
“
Om melamun ya... dari tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut...”. sungguh ceriswis
anak kecil yang satu ini.
“
Om cari siapa... dari tadi diam di sini terus sejak aku pulang sekolah, kalau
Om di sini terus nanti dikira penjahat lho yang mau nyulik anak kecil... atau
Om mau nemuin bunda... sejak pagi bunda di rumah nggak kemana-mana...”
“
Apa ayahmu ada di rumah...?” Gadis kecil berambut ikal itu mengeryitkan
wajahnya.
“
Ayah..... aku nggak punya ayah... kata bunda ayah udah pergi
jauhhhhhhhhhhhhhhhh sekali dan nggak mungkin datang lagi “.
“
Apa kau pernah melihat foto ayahmu...?” Gadis kecil itu menggeleng.
“
Bunda tidak pernah kasih tahu, kata bunda ngga penting...!. Tangan laki-laki
itu bergerak hendak mengelus rambut ikal gadis kecil dihadapannya tapi
buru-buru kepala itu menghindar.
“
Kau mau boneka nak...!”
“
Ndak Om... terima kasih, bunda melarang Nendra menerima apapun dari orang lain
apalagi belum Nendra kenal, udah ya Om... Nendra mau masuk dulu nanti bunda
bingung nyariin ...”.
“
Emang Nendra mau kemana !”
“
Ngaji Om..daaaaa”. Laki-laki itu tertegun. Apakah Nendra itu..... tujuh tahun
lalu... laki-laki itu bergegas membuka pintu mobilnya dan setitik air mata
jatuh menggenang tak kala suara mesin berderu membelah matahari yang mulai
turun.
Rumah
yang sungguh-sungguh sunyi, seperti tak ada kehidupan. Dinding yang membisu,
pot bunga yang kelu, lantai dingin yang kaku. Mala telah pergi dua bulan yang
lalu. Mala yang sangat cantik dikagumi setiap mata laki-laki yang memandangnya
hingga tega membawa seorang laki-laki untuk tidur dalam ranjangnya ketika ia
sibuk mencari uang untuk mencukupi seluruh kebutuhannya. Dulu sebelum ini
betapa ia menginginkan seorang perempuan cantik menemaninya. Berjalan dengan
bangga di sampingnya dan tidak membuatnya malu ketika kondangan dan semua orang
akan memuji betapa ia pandai mencari seorang istri.
Semua
kriteria itu tidak ada dalam diri Savitri istrinya yang pertama. Menggenang
Savitri adalah menggenang pengabdian, ketulusan, keiklasan sekaligus kepedihan.
Ketika sekarang semua berlalu dan ia kena batunya betapa sebenarnya yang ia
butuhkan adalah sosok Savitri yang tangguh tanpa keluh. Savitri
mencintainya,menyayanginya tanpa jeda waktu. Savitri telah mengangkatnya dari
trah ekonomi pas-pasan menjadi berkecukupan. Savitri mengangkat keluarganya,
menyekolahkan adik-adiknya dengan semangat dan uangnya. Menjadikan dia
laki-laki terhormat dan bermartabat. Hanya saja sosok Savitri tak seperti Luna
Maya yang jelita dan kekurangan Savitri belum mampu memberinya seorang anak.
Jabatan
membuat ia harus berinteraksi dengan banyak orang, membawa istrinya pada
bawahan menjadikan sosok Savitri terselip untuk digantikan. Mala adalah
perempuan paling cocok untuk menggantikan. Malam itu tak kala hujan gerimis
menyelubungi bumi, tanpa tedeng aling-aling, talak dijatuhkan tanpa sebab tanpa
asap. Savitri tertunduk, tangannya tergenggam sendiri dengan mata-mata
berkaca-kaca dan tak sepatah kata terucap hanya bahunya terguncang menahan
tangis.
“
Kau kuceraikan, beberapa hari lagi kau akan menerima surat cerai resmi
dariku...”
Tergagap perempuan malang itu
mengucapkan sepatah kata dan kata itu sekarang mengiringi lagkahnya kemanapun
ia pergi.
“
Jangan pernah injak rumah ini lagi dan jangan beri aku kesempatan untuk
bersumpah serapah “. Dia hanya tertawa selalu menganggap enteng setiap
persoalan.
“
Bersumpah serapahlah, kau tahu... di rumahku yang baru semua sudah ada. Aku
sudah menikah siri dengan seorang perempuan cantik sesuai dengan angan-anganku,
mobilku baru, jabatanku baru dan tak lama lagi kami akan menggelar resepsi
paling mewah yang pernah ada di kota ini dan kau tak perlu datang, bagiku kau
itu sampah dan jika didaur ulangpun aku merasa jijik untuk melihatnya apalagi
memakainya “.
Sejak
saat itu tak ada lagi nama Savitri. Semua terganti dan aku menikmati hidup
baruku dengan seorang perempuan cantik. Tapi Mala memang bukan Savitri dan
Savitri memang bukan Mala. Mereka sama perempuan tapi beda pengabdian. Savitri
melayaninya sepanjang waktu ia mau dan Mala sebaliknya. Kebanggaannya terhadap
Mala mulai terasa semu. Semua orang memuji kecantikannya dan ia bangga tapi
begitu pintu rumah terbuka, Mala adalah seorang ratu dan ia menjadi pembantu.
Tak pernah ada cium tangan yang mampir ke punggung tangannya dan bayang-bayang
Savitri mulai muncul.
Sore
itu, setelah membangun keberanian sekian lama, aku akan kembali pada Savitri,
membangun sisa umur yang mungkin tak berapa lagi. Diluar dugaan Savitri
menerima kedatanganku dengan wajah biasa saja. Tidak terkejut, terharu, benci.
Ekspresi datar yang sungguh menyakitkan.
“
Aku minta maaf Vit... atas semua yang pernah aku lakukan “. Menunggu reaksi
Savitri adalah rasa tertekan yang amat pedih. Wajah itu kian bersih dan tak ada
gurat ketuaan meski ia lebih tua lima tahun dariku. Kepalanya tertutup jilbab
panjang dan tadi jabat tangan itu digantikan dengan katupan kedua tangan.
Savitri tak memperkenankanku untuk memasuki rumahnya dan hanya menerimaku di
teras rumah. Sebuah sambutan yang menghentak rasa kelelakianku.
“
Bagaimana aku memberi maaf kalau aku tak pernah menganggapmu ada...” Kalimat
itu adalah kalimat paling menyakitkan sepanjang aku menghirup udara. Savitri
mengucapkannya dengan lancar, selancar aku dulu mengucapkan kata cerai pada
malam berurai gerimis. Tak ada lagi yang
bisa kuucapkan, padahal beribu harapan telah kutorehkan. Savitri lebih memilih
diam dan tidak bereaksi. Kalaupun dia menolakku lalu siapa gadis kecil cantik
berambut ikal yang menggemaskan itu, apakah dia anakku ?.
“
Nendra itu siapa ?”
“
Nendra anakku “.
“
Siapa ayahnya “.
“
Tentu saja kau......................” Suara Savitri meninggi dan suaranya
paling tinggi yang pernah kudengar dari bibirnya. Kulihat Savitri mulai
menunjukan rasa marah. Apakah ia tersinggung dengan pertayaanku ?.
“
Kau tahu Irwan yang terhormat, malam saat kau menceraikanku saat itu aku hendak
mengatakan bahwa aku positif hamil setelah enam tahun kita menantinya. Berjumpa
denganmu, melayanimu, merelakan harta dan waktu untuk keluargamu adalah
pengalaman terburuk dalam hidupku, sekarang pergilah seperti permintaanku dulu
dan jangan pernah jumpai aku dan Nendra lagi. Apakah kau datang untuk
menyakitiku lagi setelah kau tersandung masalah. Nendra memang anakmu tapi kami
tak butuh sosokmu dalam kehidupan kami “. Aku tertunduk, aku sedih, kecewa. Aku
melangkah pulang dalam galau dan resah. Aku tahu siapa Savitri, sekali dia
berucap tak akan ada perubahan sampai masa berlalu. Apakah dia telah
memaafkanku, aku tidak tahu karena perempuan itu tidak pernah menganggapku ada.
Karya: Yeti Wulandari [Bunda Narendra]
Karya: Yeti Wulandari [Bunda Narendra]
0 komentar :
Posting Komentar