Jumat, 12 Juni 2015

Air Mata Ibuku


            Laki-laki berkacamata minus setengah dan berkumis tipis dengan potongan rambut rapi, perawakan tegap berwibawa terlihat beberapa kali mengusap dahi dengan sapu tangan putih. Pandangannya selalu terarah kepada sebuah rumah tua rapi dengan tatanan menyejukkan. Sesekali punggungnya tersandar pada bahu mobil. Kegelisahan tampak dari gerak tangannya yang tak henti. Untuk masuk ke dalam rumah itu tampaknya keraguan lebih besar menguasai. Seorang anak kecil berlari di halaman. Rambutnya ikal berkibar tertiup angin, hidung mungil dengan bibir tipis menggemaskan. Wajahnya cerah, mulutnya bersenandung dengan sepeda pink ia memutari halaman. Laki-laki itu terkesima, pandangannya tak lepas-lepas. Anak perempuan cantik itu seperti magnet yang enggan melepaskan jerat indahnya.
            “ Om.....” seperti tersadar dari lamunan yang panjang. Gadis kecil nan cantik itu telah ada dihadapannya. Laki-laki itu jongkok, mengamati wajah mungil di depannya dan ia seperti melihat sesuatu ada dalam dirinya.
            “ Om melamun ya... dari tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut...”. sungguh ceriswis anak kecil yang satu ini.
            “ Om cari siapa... dari tadi diam di sini terus sejak aku pulang sekolah, kalau Om di sini terus nanti dikira penjahat lho yang mau nyulik anak kecil... atau Om mau nemuin bunda... sejak pagi bunda di rumah nggak kemana-mana...”
            “ Apa ayahmu ada di rumah...?” Gadis kecil berambut ikal itu mengeryitkan wajahnya.
            “ Ayah..... aku nggak punya ayah... kata bunda ayah udah pergi jauhhhhhhhhhhhhhhhh sekali dan nggak mungkin datang lagi “.
            “ Apa kau pernah melihat foto ayahmu...?” Gadis kecil itu menggeleng.
            “ Bunda tidak pernah kasih tahu, kata bunda ngga penting...!. Tangan laki-laki itu bergerak hendak mengelus rambut ikal gadis kecil dihadapannya tapi buru-buru kepala itu menghindar.
            “ Kau mau boneka nak...!”
            “ Ndak Om... terima kasih, bunda melarang Nendra menerima apapun dari orang lain apalagi belum Nendra kenal, udah ya Om... Nendra mau masuk dulu nanti bunda bingung nyariin ...”.
            “ Emang Nendra mau kemana !”
            “ Ngaji Om..daaaaa”. Laki-laki itu tertegun. Apakah Nendra itu..... tujuh tahun lalu... laki-laki itu bergegas membuka pintu mobilnya dan setitik air mata jatuh menggenang tak kala suara mesin berderu membelah matahari yang mulai turun.
            Rumah yang sungguh-sungguh sunyi, seperti tak ada kehidupan. Dinding yang membisu, pot bunga yang kelu, lantai dingin yang kaku. Mala telah pergi dua bulan yang lalu. Mala yang sangat cantik dikagumi setiap mata laki-laki yang memandangnya hingga tega membawa seorang laki-laki untuk tidur dalam ranjangnya ketika ia sibuk mencari uang untuk mencukupi seluruh kebutuhannya. Dulu sebelum ini betapa ia menginginkan seorang perempuan cantik menemaninya. Berjalan dengan bangga di sampingnya dan tidak membuatnya malu ketika kondangan dan semua orang akan memuji betapa ia pandai mencari seorang istri.
            Semua kriteria itu tidak ada dalam diri Savitri istrinya yang pertama. Menggenang Savitri adalah menggenang pengabdian, ketulusan, keiklasan sekaligus kepedihan. Ketika sekarang semua berlalu dan ia kena batunya betapa sebenarnya yang ia butuhkan adalah sosok Savitri yang tangguh tanpa keluh. Savitri mencintainya,menyayanginya tanpa jeda waktu. Savitri telah mengangkatnya dari trah ekonomi pas-pasan menjadi berkecukupan. Savitri mengangkat keluarganya, menyekolahkan adik-adiknya dengan semangat dan uangnya. Menjadikan dia laki-laki terhormat dan bermartabat. Hanya saja sosok Savitri tak seperti Luna Maya yang jelita dan kekurangan Savitri belum mampu memberinya seorang anak.
            Jabatan membuat ia harus berinteraksi dengan banyak orang, membawa istrinya pada bawahan menjadikan sosok Savitri terselip untuk digantikan. Mala adalah perempuan paling cocok untuk menggantikan. Malam itu tak kala hujan gerimis menyelubungi bumi, tanpa tedeng aling-aling, talak dijatuhkan tanpa sebab tanpa asap. Savitri tertunduk, tangannya tergenggam sendiri dengan mata-mata berkaca-kaca dan tak sepatah kata terucap hanya bahunya terguncang menahan tangis.
            “ Kau kuceraikan, beberapa hari lagi kau akan menerima surat cerai resmi dariku...”
Tergagap perempuan malang itu mengucapkan sepatah kata dan kata itu sekarang mengiringi lagkahnya kemanapun ia pergi.
            “ Jangan pernah injak rumah ini lagi dan jangan beri aku kesempatan untuk bersumpah serapah “. Dia hanya tertawa selalu menganggap enteng setiap persoalan.
            “ Bersumpah serapahlah, kau tahu... di rumahku yang baru semua sudah ada. Aku sudah menikah siri dengan seorang perempuan cantik sesuai dengan angan-anganku, mobilku baru, jabatanku baru dan tak lama lagi kami akan menggelar resepsi paling mewah yang pernah ada di kota ini dan kau tak perlu datang, bagiku kau itu sampah dan jika didaur ulangpun aku merasa jijik untuk melihatnya apalagi memakainya “.
            Sejak saat itu tak ada lagi nama Savitri. Semua terganti dan aku menikmati hidup baruku dengan seorang perempuan cantik. Tapi Mala memang bukan Savitri dan Savitri memang bukan Mala. Mereka sama perempuan tapi beda pengabdian. Savitri melayaninya sepanjang waktu ia mau dan Mala sebaliknya. Kebanggaannya terhadap Mala mulai terasa semu. Semua orang memuji kecantikannya dan ia bangga tapi begitu pintu rumah terbuka, Mala adalah seorang ratu dan ia menjadi pembantu. Tak pernah ada cium tangan yang mampir ke punggung tangannya dan bayang-bayang Savitri mulai muncul.
            Sore itu, setelah membangun keberanian sekian lama, aku akan kembali pada Savitri, membangun sisa umur yang mungkin tak berapa lagi. Diluar dugaan Savitri menerima kedatanganku dengan wajah biasa saja. Tidak terkejut, terharu, benci. Ekspresi datar yang sungguh menyakitkan.
            “ Aku minta maaf Vit... atas semua yang pernah aku lakukan “. Menunggu reaksi Savitri adalah rasa tertekan yang amat pedih. Wajah itu kian bersih dan tak ada gurat ketuaan meski ia lebih tua lima tahun dariku. Kepalanya tertutup jilbab panjang dan tadi jabat tangan itu digantikan dengan katupan kedua tangan. Savitri tak memperkenankanku untuk memasuki rumahnya dan hanya menerimaku di teras rumah. Sebuah sambutan yang menghentak rasa kelelakianku.
            “ Bagaimana aku memberi maaf kalau aku tak pernah menganggapmu ada...” Kalimat itu adalah kalimat paling menyakitkan sepanjang aku menghirup udara. Savitri mengucapkannya dengan lancar, selancar aku dulu mengucapkan kata cerai pada malam berurai gerimis. Tak ada  lagi yang bisa kuucapkan, padahal beribu harapan telah kutorehkan. Savitri lebih memilih diam dan tidak bereaksi. Kalaupun dia menolakku lalu siapa gadis kecil cantik berambut ikal yang menggemaskan itu, apakah dia anakku ?.
            “ Nendra itu siapa ?”
            “ Nendra anakku “.
            “ Siapa ayahnya “.
            “ Tentu saja kau......................” Suara Savitri meninggi dan suaranya paling tinggi yang pernah kudengar dari bibirnya. Kulihat Savitri mulai menunjukan rasa marah. Apakah ia tersinggung dengan pertayaanku ?.
            “ Kau tahu Irwan yang terhormat, malam saat kau menceraikanku saat itu aku hendak mengatakan bahwa aku positif hamil setelah enam tahun kita menantinya. Berjumpa denganmu, melayanimu, merelakan harta dan waktu untuk keluargamu adalah pengalaman terburuk dalam hidupku, sekarang pergilah seperti permintaanku dulu dan jangan pernah jumpai aku dan Nendra lagi. Apakah kau datang untuk menyakitiku lagi setelah kau tersandung masalah. Nendra memang anakmu tapi kami tak butuh sosokmu dalam kehidupan kami “. Aku tertunduk, aku sedih, kecewa. Aku melangkah pulang dalam galau dan resah. Aku tahu siapa Savitri, sekali dia berucap tak akan ada perubahan sampai masa berlalu. Apakah dia telah memaafkanku, aku tidak tahu karena perempuan itu tidak pernah menganggapku ada.
Karya: Yeti Wulandari [Bunda Narendra]

0 komentar :

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com